Deparpolisasi
menurut KBBI adalah pengurangan jumlah partai politik[1],
secara umum deparpolisasi dapat diartikan sebagai berkurangnya peran-peran
partai politik bahkan peniadaan partai politik. Dalam dunia perpolitikan,
negara tentu mengharapkan pemilu yang demokratis karenanya partisipasi politik
warganegara adalah sebuah kebutuhan. Demokrasi tanpa keikutsertaan rakyat
adalah sesuatu yang nihil. Keterlibatan serta partisipasi rakyat diharapkan
dapat menentukan arah kebijakan pemerintah dalam menyelesaikan berbagai
persoalan negara, terutama menyangkut kepentingan rakyat umum (banyak).
Menyangkut
pernyataan diatas, bahwa pemilu dapat diartikan sebagai hal yang sangat sakral
karena disanalah nasib dari jutaan masyarakat disuatu wilayah ditentukan oleh
siapa pemimpinnya. Dalam kontestasi politik tentu partai politik sengat gencar
dalam mengkampanyekan kader terbaiknnya agar dapat dipilih oleh rakyat. Tetapi,
seiring berjalannya waktu banyak kader dari partai politik yang gagal secara
moral. Sehingga, beberapa kader melakukan kesalahan politik yang berdampak pada
citra partai.
Peran
media yang sangat eksploitatif terhadap pemberitaan-pemberitaan politik membuat
isu-isu yang berkembang dimasyarakat bergerak secara masif dan responsif, dan
masyarakat seolah merasa terdzolimi oleh pejabat-pejebat negara yang berparpol.
Hal ini lah yang diberitakan oleh media secara masif. Sehingga, Kepercayaan
terhadap partai politik seiring berjalannya waktu mulai turun.
Tidak
mengherankan ketika penulis melakukan riset kecil yang dikutip dari KOMPAS.com
– Hasil Survei Saiful Mujani Research and Consulting menunjukkan bahwa parpol
berada pada tingkat paling rendah dengan persentase kepercayaan masyarakat
yaitu 52,9 persen. Hasil survei ini
cukup membuktikan bahwa hampir separuh Responden kehilangan kepercayaan terhadap
partai politik, hal ini bisa disebabkan karena banyak faktor, misal : Konflik
internal partai, skandal yang dialami kader parpol tertentu, penyelewengan
jabatan oleh salah seseorang kader parpol dll. Fenomena ini yang akhirnya
menjadikan masyarakat merubah mindset bahwa lebih baik calon pejabat lepas dari
ikatan partai agar tidak diombang-ambingkan oleh kepentingan partai politik
yang mengusungnya. Sehingga, Muncul istilah fenomena calon independen dalam
pemilu dewasa ini.
Calon independen
secara hukum diperbolehkan dan sah-sah saja ikut dalam kontestasi politik.
Keputusan MK meloloskan calon independen, tentu saja memberikan harapan baru
bagi munculnya calon-calon kepala daerah/wakil kepala daerah yang relatif lebih
terbuka bagi siapa pun yang memiliki minat untuk mencalonkan diri.
Keberadaan
calon independen tentu menjadi tantangan yang cukup serius terutama bagi parpol
karena setidak-tidaknya ada dampak yang tidak meguntungkan terhadap keberadaan
parpol, yaitu: (1) jika pasangan yang diusung parpol kalah, maka kepercayaan
masyarakat akan terus merosot terhadap parpol, (2) parpol akan kehilangan
sumber pembiayaan ongkos politik dalam pilkada, karena tradisi menyewa perahu
dengan sendirinya akan segera ditinggalkan.
Merosotnya
kepercayaan masyarakat terhadap partai politik, maka sudah tentu kehadiran
calon independen akan memberikan dampak yang positif terhadap persaingan
politik dalam memperebutkan jabatan politik, antara lain: rakyat sebagai
pemilih akan memperoleh banyak pilihan untuk menentukan calon kepala daerah
yang dinilainya paling layak dan berkualitas.
Berhubungan
dengan pernyataan diatas, kita lihat Ahok, dia bisa dikatakan sebagai
representasi dari fenomena calon independen ditengah merosotnya kepercayaan
masyarakat terhadap partai. Mulai dari Teman ahok, 1juta KTP untuk ahok
merupakan refleksi dari masyarakat bahwa dukungan penuh kepada calon independen
sangat kuat. Tetapi, apakah fenomena ini akan tetap berjalan. Faktanya, berita
terbaru ahok didukung oleh 4 partai yaitu PDIP,NASDEM,HANURA,GOLKAR untuk maju
pada pilgub 2017 mendatang. Sangat bias fenomena deparpolisasi yang terjadi
saat ini.[2]
Kita dapat
analisis ,bahwa negara yang menganut sistem demokrasi mewajibkan adanya partai
politik. Sedangkan, dengan tidak adanya partai politik dalam sebuah negara yang
menganut sistem demokrasi dan hanya mengandalkan calon individu/independen akan
rentan terhadap otoritarianisme/totalitarianisme. Sehingga, terasa rancu bagi
negara kita yang mengalami deparpolisasi. Partai
politik memiliki peran penting sebagai pilar berjalannya proses konsolidasi sistem
demokrasi. Sebagai struktur sentral antara masyarakat dan pemerintah, partai
politik harus memenuhi fungsi-fungsi tertentu, utamanya dalam bidang artikulasi
dan pengumpulan kepentingan. Sesuai dengan perannya Partai politik mampu
menyusun, menyaring, dan mengumpulkan opini publik. Sehingga,
Mustahil jika deparpolisasi terjadi di negara yang menerapkan sistem demokrasi.
Di DKI Jakarta jika melihat secara historis mengenai calon
independent pada PILKADA tahun 2012 sendiri. Dua dari enam pasangan
calon gubernur dan wakil gubernur maju dari jalur perseorangan, namun suara
yang diperoleh amat kecil. Pasangan kandidat independen dengan nomor urut dua,
Hendardji Soepandji-Ahmad Riza Patria hanya mendapatkan 1,98 persen, sementara
kandidat nomor urut lima Faisal Basri-Biem Benjamin mendapatkan 4,98 persen. Sangat
jauh jika dibandingkan dengan dua pasangan yang berhasil maju ke Pilkada
putaran dua. Pasangan Joko “Jokowi” Widodo-Ahok mendapatkan 42,6 persen suara,
sementara Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli mendapatkan 34,05 persen[3].
Namun yang
menarik adalah, pasangan Faisal-Biem mendapatkan jumlah suara sedikit lebih
besar daripada pasangan kandidat nomor enam Alex Nurdin-Nono Sampono yang
didukung oleh Partai Golkar, PPP, PDS, PP, PKPB, PKDI, Partai RepublikaN, PPIB,
Partai Buruh, PPNUI, serta PNI Marhaenisme.Pasangan Alex-Nono hanya berhasil
memperoleh 4,67 persen suara. Jadi, apakah sebenarnya faktor independen atau
tidak menjadi penentu masyarakat dalam menentukan pilihannya dalam Pilkada
Terlebih dengan maraknya kata deparpolisasi di media?
Khusus di
Jakarta calon Independen belum pernah menang dan selalu kehilangan pesonanya,
kecuali figur, elektibilitas dan popularitasnya menyalip elektabilitas parpol.
Hal inilah yang terbukti pada PILKADA DKI Jakarta, bahwa akhirnya Ahok memilih
jalur partai untuk memajukan dirinya pada kontestasi politik DKI Jakarta. Bukan
sebuah kemustahilan jikalau akan tetap muncul calon independen pada PILKADA DKI
Jakarta.Yang jelas fenomena calon independen ditengah maraknya kabar
deparpolisasi masih sangat kesulitan menembus kemenangan di PILKADA DKI
Jakarta.
Terlepas dari
semua itu, yang perlu disadari bahwa negara demokratis harus memberikan
kesempatan kepada siapapun untuk bertarung dalam sebuah kontestasi politik.
meskipun nantinya masyarakatlah yang akan menilai mana yang layak dan mana yang
tidak, semua kembali kepada rasional choice masyarakat, karena demokrasi
sejatinya adalah kekuasaan ditangan rakyat.
[1] http://kbbi.web.id/deparpolisasi
[2] https://news.detik.com/berita/d-3302879/4-partai-pengusung-siap-antar-ahok-djarot-ke-kpu-dki
[3] http://www.rappler.com/indonesia/126197-kontroversi-calon-independen-pilkada
diakses pada tgl 27 oktober 2016
Roulette | Casino Site | Lucky Club
BalasHapusRoulette. Roulette. Roulette. Roulette. Roulette. luckyclub Roulette. Roulette. Roulette. Roulette. Roulette. Roulette. Roulette. Roulette.