Langsung ke konten utama

FENOMENA CALON INDEPENDEN TERHADAP ISU DEPARPOLISASI PADA PILKADA DKI JAKARTA 2017



Deparpolisasi menurut KBBI adalah pengurangan jumlah partai politik[1], secara umum deparpolisasi dapat diartikan sebagai berkurangnya peran-peran partai politik bahkan peniadaan partai politik. Dalam dunia perpolitikan, negara tentu mengharapkan pemilu yang demokratis karenanya partisipasi politik warganegara adalah sebuah kebutuhan. Demokrasi tanpa keikutsertaan rakyat adalah sesuatu yang nihil. Keterlibatan serta partisipasi rakyat diharapkan dapat menentukan arah kebijakan pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan negara, terutama menyangkut kepentingan rakyat umum (banyak).
Menyangkut pernyataan diatas, bahwa pemilu dapat diartikan sebagai hal yang sangat sakral karena disanalah nasib dari jutaan masyarakat disuatu wilayah ditentukan oleh siapa pemimpinnya. Dalam kontestasi politik tentu partai politik sengat gencar dalam mengkampanyekan kader terbaiknnya agar dapat dipilih oleh rakyat. Tetapi, seiring berjalannya waktu banyak kader dari partai politik yang gagal secara moral. Sehingga, beberapa kader melakukan kesalahan politik yang berdampak pada citra partai.
Peran media yang sangat eksploitatif terhadap pemberitaan-pemberitaan politik membuat isu-isu yang berkembang dimasyarakat bergerak secara masif dan responsif, dan masyarakat seolah merasa terdzolimi oleh pejabat-pejebat negara yang berparpol. Hal ini lah yang diberitakan oleh media secara masif. Sehingga, Kepercayaan terhadap partai politik seiring berjalannya waktu mulai turun.
Tidak mengherankan ketika penulis melakukan riset kecil yang dikutip dari KOMPAS.com – Hasil Survei Saiful Mujani Research and Consulting menunjukkan bahwa parpol berada pada tingkat paling rendah dengan persentase kepercayaan masyarakat yaitu  52,9 persen. Hasil survei ini cukup membuktikan bahwa hampir separuh Responden kehilangan kepercayaan terhadap partai politik, hal ini bisa disebabkan karena banyak faktor, misal : Konflik internal partai, skandal yang dialami kader parpol tertentu, penyelewengan jabatan oleh salah seseorang kader parpol dll. Fenomena ini yang akhirnya menjadikan masyarakat merubah mindset bahwa lebih baik calon pejabat lepas dari ikatan partai agar tidak diombang-ambingkan oleh kepentingan partai politik yang mengusungnya. Sehingga, Muncul istilah fenomena calon independen dalam pemilu dewasa ini.
Calon independen secara hukum diperbolehkan dan sah-sah saja ikut dalam kontestasi politik. Keputusan MK meloloskan calon independen, tentu saja memberikan harapan baru bagi munculnya calon-calon kepala daerah/wakil kepala daerah yang relatif lebih terbuka bagi siapa pun yang memiliki minat untuk mencalonkan diri.
Keberadaan calon independen tentu menjadi tantangan yang cukup serius terutama bagi parpol karena setidak-tidaknya ada dampak yang tidak meguntungkan terhadap keberadaan parpol, yaitu: (1) jika pasangan yang diusung parpol kalah, maka kepercayaan masyarakat akan terus merosot terhadap parpol, (2) parpol akan kehilangan sumber pembiayaan ongkos politik dalam pilkada, karena tradisi menyewa perahu dengan sendirinya akan segera ditinggalkan.
Merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik, maka sudah tentu kehadiran calon independen akan memberikan dampak yang positif terhadap persaingan politik dalam memperebutkan jabatan politik, antara lain: rakyat sebagai pemilih akan memperoleh banyak pilihan untuk menentukan calon kepala daerah yang dinilainya paling layak dan berkualitas.
Berhubungan dengan pernyataan diatas, kita lihat Ahok, dia bisa dikatakan sebagai representasi dari fenomena calon independen ditengah merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap partai. Mulai dari Teman ahok, 1juta KTP untuk ahok merupakan refleksi dari masyarakat bahwa dukungan penuh kepada calon independen sangat kuat. Tetapi, apakah fenomena ini akan tetap berjalan. Faktanya, berita terbaru ahok didukung oleh 4 partai yaitu PDIP,NASDEM,HANURA,GOLKAR untuk maju pada pilgub 2017 mendatang. Sangat bias fenomena deparpolisasi yang terjadi saat ini.[2]
Kita dapat analisis ,bahwa negara yang menganut sistem demokrasi mewajibkan adanya partai politik. Sedangkan, dengan tidak adanya partai politik dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi dan hanya mengandalkan calon individu/independen akan rentan terhadap otoritarianisme/totalitarianisme. Sehingga, terasa rancu bagi negara kita yang mengalami deparpolisasi. Partai politik memiliki peran penting sebagai pilar berjalannya proses konsolidasi sistem demokrasi. Sebagai struktur sentral antara masyarakat dan pemerintah, partai politik harus memenuhi fungsi-fungsi tertentu, utamanya dalam bidang artikulasi dan pengumpulan kepentingan. Sesuai dengan perannya Partai politik mampu menyusun, menyaring, dan mengumpulkan opini publik. Sehingga, Mustahil jika deparpolisasi terjadi di negara yang menerapkan sistem demokrasi.
Di DKI Jakarta jika melihat secara historis mengenai calon independent pada PILKADA tahun 2012 sendiri. Dua dari enam pasangan calon gubernur dan wakil gubernur maju dari jalur perseorangan, namun suara yang diperoleh amat kecil. Pasangan kandidat independen dengan nomor urut dua, Hendardji Soepandji-Ahmad Riza Patria hanya mendapatkan 1,98 persen, sementara kandidat nomor urut lima Faisal Basri-Biem Benjamin mendapatkan 4,98 persen. Sangat jauh jika dibandingkan dengan dua pasangan yang berhasil maju ke Pilkada putaran dua. Pasangan Joko “Jokowi” Widodo-Ahok mendapatkan 42,6 persen suara, sementara Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli mendapatkan 34,05 persen[3].
Namun yang menarik adalah, pasangan Faisal-Biem mendapatkan jumlah suara sedikit lebih besar daripada pasangan kandidat nomor enam Alex Nurdin-Nono Sampono yang didukung oleh Partai Golkar, PPP, PDS, PP, PKPB, PKDI, Partai RepublikaN, PPIB, Partai Buruh, PPNUI, serta PNI Marhaenisme.Pasangan Alex-Nono hanya berhasil memperoleh 4,67 persen suara. Jadi, apakah sebenarnya faktor independen atau tidak menjadi penentu masyarakat dalam menentukan pilihannya dalam Pilkada Terlebih dengan maraknya kata deparpolisasi di media?
Khusus di Jakarta calon Independen belum pernah menang dan selalu kehilangan pesonanya, kecuali figur, elektibilitas dan popularitasnya menyalip elektabilitas parpol. Hal inilah yang terbukti pada PILKADA DKI Jakarta, bahwa akhirnya Ahok memilih jalur partai untuk memajukan dirinya pada kontestasi politik DKI Jakarta. Bukan sebuah kemustahilan jikalau akan tetap muncul calon independen pada PILKADA DKI Jakarta.Yang jelas fenomena calon independen ditengah maraknya kabar deparpolisasi masih sangat kesulitan menembus kemenangan di PILKADA DKI Jakarta.
Terlepas dari semua itu, yang perlu disadari bahwa negara demokratis harus memberikan kesempatan kepada siapapun untuk bertarung dalam sebuah kontestasi politik. meskipun nantinya masyarakatlah yang akan menilai mana yang layak dan mana yang tidak, semua kembali kepada rasional choice masyarakat, karena demokrasi sejatinya adalah kekuasaan ditangan rakyat.





[1] http://kbbi.web.id/deparpolisasi
[2] https://news.detik.com/berita/d-3302879/4-partai-pengusung-siap-antar-ahok-djarot-ke-kpu-dki

Komentar

  1. Roulette | Casino Site | Lucky Club
    Roulette. Roulette. Roulette. Roulette. Roulette. luckyclub Roulette. Roulette. Roulette. Roulette. Roulette. Roulette. Roulette. Roulette.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Era Post Truth dan masa depan politik indonesia

Oleh Anak Agung MIP Menelisik beberapa kejadian yang sering muncul akhir-akhir ini, entah kebiasaan netizen di media sosial (semisal twitter, Facebook,IG) tentang ujaran-ujaran yang tidak koheren dengan realitas yang ada, menyebabkan stigma berkembang lebih cepat dan tidak terkontrol. Sampai mengkontruksi masyarakat untuk berfikir secara dangkal dan tidak kritis. Akibatnya, segala diskursus publik kepada masyarakat, diarahkan menuju hal-hal yang tidak substansial. Publik dibiasakan melihat masalah sebatas apa yang ditangkap oleh indrawi, tidak diajarkan untuk menggunakan mata akal. Sehingga, segala problematika yang tersodorkan di media tidak pernah disikapi secara kritis oleh masyarakat kita. Jarang sekali penalaran publik sampai ke dasar permasalahan, karena ketidakmampuan akal untuk melihat sisi yang hanya bisa dideteksi oleh mata akal; bukan indra mata. Lalu kita bertanya, kenapa bisa begitu? Jika kita cek secara teoritis, kemunduran akal tersebut biasanya dikataka

MENYAMBUT PEMILU 2019 DAN BAGAIMANA POSISI KITA?

Oleh : Anak Agung MIP Baru beberapa minggu yang lalu kandidat calon Presiden Republik Indonesia akhirnya sudah terdeklarasikan. Meskipun berjalan dengan sedikit drama, hal yang ditunggu-tunggu masyarakatpun terbayarkan. Jokowi dan Ma’ruf Amin serta Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno menjadi calon presiden republik indonesia pada pemilu mendatang. Kedua belah pihak memang memiliki track record yang bagus dalam dunia politik maupun yang lain. Masyarakatpun seolah langsung terpolarisasi setelah diputuskannya calon presiden indonesia itu. Tentu, sebagai warganegara yang baik, penulis memiliki harapan yang besar pada kedua calon tersebut. Akan tetapi, sebagai warganegara yang baik juga, penulis ingin merefleksikan perihal tentang apa sebetulnya kita dalam sebuah negara dan perpolitikan ini? Pertanyaan mendasar sekarang, benarkah kita ( rakyat ) adalah tuan dari negara ini dan apakah kita sungguh memiliki pesuruh yang bernama Pemerintah? memikirkan tentang hal ini penulis