Langsung ke konten utama

MENYAMBUT PEMILU 2019 DAN BAGAIMANA POSISI KITA?



Oleh : Anak Agung MIP
Baru beberapa minggu yang lalu kandidat calon Presiden Republik Indonesia akhirnya sudah terdeklarasikan. Meskipun berjalan dengan sedikit drama, hal yang ditunggu-tunggu masyarakatpun terbayarkan. Jokowi dan Ma’ruf Amin serta Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno menjadi calon presiden republik indonesia pada pemilu mendatang. Kedua belah pihak memang memiliki track record yang bagus dalam dunia politik maupun yang lain. Masyarakatpun seolah langsung terpolarisasi setelah diputuskannya calon presiden indonesia itu. Tentu, sebagai warganegara yang baik, penulis memiliki harapan yang besar pada kedua calon tersebut.

Akan tetapi, sebagai warganegara yang baik juga, penulis ingin merefleksikan perihal tentang apa sebetulnya kita dalam sebuah negara dan perpolitikan ini?

Pertanyaan mendasar sekarang, benarkah kita ( rakyat ) adalah tuan dari negara ini dan apakah kita sungguh memiliki pesuruh yang bernama Pemerintah? memikirkan tentang hal ini penulis langsung terpintas kata “Kedaulatan” apa itu kedaulatan? Benarkah kita berdaulat? Benarkah negara ini memikirkan nasib rakyat? mari kita cek asal muasal negara.

Terkait negara. Apakah negara itu? Menurut hafalan yang kita dapat saat SMA, negara adalah kesatuan wilayah yang memiliki pemerintahan berdaulat, rakyat dan pengakuan dari negara lain. Tapi, sejak kapan negra didefinisikan seperti itu? Seperti apakah dunia sebelum negara? Apa yang terjadi pada dunia pra-negara sehingga ia digantikan dengan dunia negara-sentris? Ada apa saat transisi tersebut berlangsung? Apapun pertanyaannya, penulis kira hanya orang kurang kerjaan yang mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan semacam ini, ditengah kondisi seperti ini. Biasanya pertanyaan ini segera ditolak dengan seruan, “jangan pikirkan apa yang sudah negara berikan kepadamu, pikirkan apa yang sudah kamu berikan untuk negara”. Seruan semacam itu sebetulnya penulis anggap sebagai sesuatu yang kurang adil untuk diterima, karena kata itu mencegah kita untuk berfikir kritis terhadap negara.

Negara sebetulnya adalah sebuah kontainer, kalau bahasa sosiologisnya sistem pengorganisasian sosial berbasis teritorial, meskipun ada sistem pengorganisasian lain yang berbasis teritorial semisal gereja, liga kota dagang di jerman dsb. Akan tetapi, Negara merupakan hal yang lain, negara memiliki ciri kedaulatan. Sekedar informasi semenjak 1648, pertama kali negara modern dicetuskan melalui perjanjian Westphalia, kedaulatan ini mengalami evolusi. Di perjanjian Westphalia (1648), ia berarti sentralisasi kekuasaan teritorial, eksklusi kekuasaan non-negara (gereja, bandit, ksatria, liga, dst.), dan pengakuan kedaulatan antar negara. Di Kongres Wina (1814), ia mendapat dimensi teritorial terbatasnya. Di Konvensi Jenewa (1864, 1906, 1929, 1949), ia diatur oleh Hukum Internasional. Di Konvensi Montevideo (1933), ia dibakukan sebagai kanon hukum.

Yang ingin penulis tekankan disini adalah, bahwa negara adalah produk sejarah. Jadi, memberi predikat final terhadap negara adalah sesuatu yang cukup gila, karena hanya tuhan yang harus kita sebut Final. Negara adalah entitas yang debatable yang hanya mungkin bisa kita atur kemana keberlangsungan negara bakal terjadi.

Untuk sampai kepada maksud penulis. Penulis akan bawa pembaca yang budiman pada ingatan penulis tentang Negara. Asal-usul negara tidak bisa dilepaskan dari asal-usul kedaulatan. Kedaulatan adalah fitur utama sistem pengorganisasian ini. Membahas mengenai kedaulatan bisa kita lacak saat Paus mencoba mentransfer kedaulatan ilahi pada dirinya untuk menjustifikasi kekuasaannya atas Eropa pasca serangan barbarian di sekitar abad 8-9. Kaisar Romawi Agung cemburu ia ingin mendapat kekuasaan besar seperti itu. Jadilah perseteruan di antaramereka di sekitar abad 10-13.

Dalam nuansa kecemburuan tersebutu setidaknya doktrin dua pedang mampu sedikit meredakan ketegangan tersebut. Paus memegang pedang relijius sebagai tanda kekuasaan atas kehidupan agamawi rakyat; sementara Kaisar memegang pedang sekuler sebagai tanda kekuasaan atas kehidupan duniawi rakyat. Sekitar abad 13 dan 14, baik Gereja maupun Kekaisaran mengalami krisis. Akibatnya, kekuasaan yang tadinya dikira kekal tersebut, ternyata terbukti keropos. Akhirnya mulailah raja-raja dan pangeran-pangeran (yang secara hirarkis saat itu berada di bawah kekuasaan Paus dan Kaisar) melirik ide kedaulatan, dan “bersekongkol” untuk menyingkirkan Paus dan Kaisar secara sistematis. Jadilah perjanjian Westphalia yang melaluinya kekuasaan paus dan Kaisar dipangkas habis.

Pembagian wilayah misalnya, sudah jelas berupaya mencacah-cacah kekaisaran saat itu. Lalu pengakuan kedaulatan eksklusif, jelas merupakan upaya untuk saling melegitimasi diri seraya mendeligitimasi yang lain yang tidak sejenis—Kaisar dan Paus (dan bandit, dan liga, dst.) Melalui perjanjian, Eropa hanya mengenal (secara de yure) negara berdaulat sebagai satu-satunya pengorganisasian teritorial.

Pertanyaannya sekarang, apa yang dilakukan raja saat merasa mendapatkan kekuasaan ini? Salah seorang pemikir politik yang tentu kita semua tahu Niccolo Machiavelli akan menekankan bahwa caranya yakni Mempertahankan dan Mengatur siapapun yang berada pada wilayah kekuasaanya. Bagaimana teknisnya? Diciptakanlah ritual-ritual yang di”SAKRAL”kan seperti pemahkotaan, pembaptisan raja, perayaan hari-hari tertentu. Benda-benda yang disakralkan juga dibuat: tongkat, mahkota, tempat tidur, peti mati, dst. Apa tujuannya? Tidak lain adalah menjaga kesinambungan trahnya di tahta kerajaan. Jadi, melalui hal-hal sakral ini, kerajaan (atau nantinya negara) diangkat statusnya ke taraf sakral, atau obyek yang sublim.

Dengan kata lain, hal ini memiliki tujuan untuk menjamin kekuasaan duniawi raja melalui faktor-faktor yang sifatnya sementara, Dan tentunya rakyat selalu ada untuk mengelu-elukan rajanya, membersihkan kamar raja, menyandang senjata untuk berperang, atau paling banter menjadi badut istana tidak lebih.

Dari sini kita bisa sedikit memahami bahwa. Proses memiliki kata kedaulatan dicapai hingga dengan cara ritual-ritual kerajaan yang mengada-ada, hingga melahirkan entitas baru yang kita sebut saja sebagai “Negara Berdaulat” para penganut psikoanalisis lacanian akan cepat mudah memahami maksud penulis. Setelah anda paham, bahkan lebih jauh lagi penulis bisa katakan bahwa “negara bukan hanya merupakan monopoli muara proyeksi fantasi raja akan kekekalan eksistensi, melainkan juga sama-sama merupakan muara proyeksi fantasi rakyat akan kontinuitas eksistensinya” kenapa begitu? Karena raja dalam setiap kesempatan orasi publik atau kampanyenya selalu menjajikan kesejahteraan dan kemakmuran serta keamaan bagi rakyat. secara psikologis tentu seorang yang punya hasrat berkuasa harus merangkul hasrat rakyat tadi yang membutuhkan kesejahteraan, kemakmuran dan keamanan. Akibatnya, rakyat rela memproyeksikan hasratnya pada negara; atau dalam bahasa ilmu politik, rakyat memberi legitimasi bagi pemerintahan rajanya. Dan ini pada gilirannya akan menimbulkan masalah besar, sangat besar.

Akhirnya pada revolusi Perancis, kita tahu bahwa fantasi raja dan fantasi rakyat terbukti tidak bisa berbagi muara, salah satu harus menyingkir. Sejarah membuktikan, pisau guillotine menjadi tanda dimana fantasi rajalah yang harus mengalah. Laksana bendungan bocor, demokrasi menjadi aliran deras fantasi rakyat untuk mengisi tahta kerajaan sepeninggalan raja monark. ibarat sekawanan budak yang berhasil membunuh tuan tirannya, mereka kini berjingkrak-jingkrak di tempat tidur sakral, mempermainkan tongkat sakral raja, dan mungkin memakaikan mahkota raja ke kambing piaraan mereka.

Tapi apakah benar guillotine sukses memenggal kepala raja? Kembali ke penekanan saya sebelumnya, tubuh raja bisa saja mati, tapi obyek sublim tidak! Inlah teologi/metafisika politik. Hantu kedaulatan membayangi demokrasi belia Eropa (Perancis) saat itu.

Dari sedikit sejarah diatas, tentu kita akan berfikir ulang, tentang kondisi negara ini, benarkah rakyat hanya sekedar objek demi melanggengkan kekuasaan, apakah rakyat berdaulat? Apakah penting mengkultuskan seorang presiden? Apakah rakyat harus percaya janji-janji politik para politikus? Ketika kita bisa sedikit berfantasi bahwa kemungkinan kita memang benar adalah variabel kesekian demi ambisi politik seorang raja/presiden dsb? Kalau iya hina sekali kita, anda refleksikan sendiri!.
Mungkin tulisan ini agak sinis, tetapi, bukan tidak mungkin pikiran semacam ini bisa saja sungguh sedang terjadi di negara ini, penulis mengajak pembaca untuk tidak terbutakan oleh janji politik, dan pengkultusan terhadap kandidat tertentu pada pemilu  2019, agar kita bisa lebih kritis dan jeli serta mengurangi dampak konflik sosiologis dari pertengkaran politik. sebagai pengakhir penulis ingin mengutip tulisan dari salah satu karya George Orwell di novelnya 1984 those who control the past control the future and those who control the present control the past.”

Terimakasih.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

FENOMENA CALON INDEPENDEN TERHADAP ISU DEPARPOLISASI PADA PILKADA DKI JAKARTA 2017

Deparpolisasi menurut KBBI adalah pengurangan jumlah partai politik [1] , secara umum deparpolisasi dapat diartikan sebagai berkurangnya peran-peran partai politik bahkan peniadaan partai politik. Dalam dunia perpolitikan, negara tentu mengharapkan pemilu yang demokratis karenanya partisipasi politik warganegara adalah sebuah kebutuhan. Demokrasi tanpa keikutsertaan rakyat adalah sesuatu yang nihil. Keterlibatan serta partisipasi rakyat diharapkan dapat menentukan arah kebijakan pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan negara, terutama menyangkut kepentingan rakyat umum (banyak). Menyangkut pernyataan diatas, bahwa pemilu dapat diartikan sebagai hal yang sangat sakral karena disanalah nasib dari jutaan masyarakat disuatu wilayah ditentukan oleh siapa pemimpinnya. Dalam kontestasi politik tentu partai politik sengat gencar dalam mengkampanyekan kader terbaiknnya agar dapat dipilih oleh rakyat. Tetapi, seiring berjalannya waktu banyak kader dari partai politik yang gag

BINATANG BERTUBUH MANUSIA

Assalamualaikum Wr.Wb Dalam tulisan ini penulis akan membahas fenomena-fenomena politik didalam sebuah kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Kita tentu mengenal masa transisi jabatan dalam sebuah pemerintahan, Pergantian kekuasaan dari periode yang awal ke periode yang selanjutnya. Dalam hal ini, proses penetapan calon-calon yang akan duduk sebagai jajaran pemerintahan baru sudah sangat jelas dilakukan oleh Kelompok, baik partai dsb. Yang perlu diperhatikan, proses penetapan calon tersebut bukanlah dengan cara sembarangan, perlu proses seleksi yang sangat rumit agar muncul calon-calon yang benar-benar berkompeten dan mempunyai track record yang jelas. Karena kalau tidak, pemerintahan itu nantinya akan berjalan seperti halnya sesorang yang amatiran. Itulah hal ideal dalam sebuah proses penetapan jajaran pemerintahan.             Tetapi disisi lain, Realitas yang terjadi mengatakan sebaliknya meskipun tidak general. Banyak didaerah-daerah tertentu pemerintahan dipegang oleh seor

Era Post Truth dan masa depan politik indonesia

Oleh Anak Agung MIP Menelisik beberapa kejadian yang sering muncul akhir-akhir ini, entah kebiasaan netizen di media sosial (semisal twitter, Facebook,IG) tentang ujaran-ujaran yang tidak koheren dengan realitas yang ada, menyebabkan stigma berkembang lebih cepat dan tidak terkontrol. Sampai mengkontruksi masyarakat untuk berfikir secara dangkal dan tidak kritis. Akibatnya, segala diskursus publik kepada masyarakat, diarahkan menuju hal-hal yang tidak substansial. Publik dibiasakan melihat masalah sebatas apa yang ditangkap oleh indrawi, tidak diajarkan untuk menggunakan mata akal. Sehingga, segala problematika yang tersodorkan di media tidak pernah disikapi secara kritis oleh masyarakat kita. Jarang sekali penalaran publik sampai ke dasar permasalahan, karena ketidakmampuan akal untuk melihat sisi yang hanya bisa dideteksi oleh mata akal; bukan indra mata. Lalu kita bertanya, kenapa bisa begitu? Jika kita cek secara teoritis, kemunduran akal tersebut biasanya dikataka