Oleh : Anak Agung MIP
Baru beberapa minggu yang lalu
kandidat calon Presiden Republik Indonesia akhirnya sudah terdeklarasikan.
Meskipun berjalan dengan sedikit drama, hal yang ditunggu-tunggu masyarakatpun
terbayarkan. Jokowi dan Ma’ruf Amin serta Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno
menjadi calon presiden republik indonesia pada pemilu mendatang. Kedua belah
pihak memang memiliki track record yang bagus dalam dunia politik maupun
yang lain. Masyarakatpun seolah langsung terpolarisasi setelah diputuskannya
calon presiden indonesia itu. Tentu, sebagai warganegara yang baik, penulis
memiliki harapan yang besar pada kedua calon tersebut.
Akan tetapi, sebagai warganegara yang baik juga, penulis ingin
merefleksikan perihal tentang apa sebetulnya kita dalam sebuah negara dan
perpolitikan ini?
Pertanyaan mendasar sekarang,
benarkah kita ( rakyat ) adalah tuan dari negara ini dan apakah kita sungguh
memiliki pesuruh yang bernama Pemerintah? memikirkan tentang hal ini penulis
langsung terpintas kata “Kedaulatan” apa itu kedaulatan? Benarkah kita
berdaulat? Benarkah negara ini memikirkan nasib rakyat? mari kita cek asal
muasal negara.
Terkait negara.
Apakah negara itu? Menurut hafalan yang kita dapat saat SMA, negara adalah kesatuan wilayah yang memiliki pemerintahan berdaulat, rakyat dan pengakuan dari negara lain. Tapi, sejak kapan negra didefinisikan seperti itu?
Seperti apakah dunia sebelum negara? Apa yang terjadi pada dunia pra-negara sehingga ia digantikan dengan dunia negara-sentris? Ada apa saat transisi tersebut
berlangsung? Apapun pertanyaannya, penulis kira hanya orang kurang kerjaan yang
mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan semacam ini, ditengah kondisi seperti ini. Biasanya pertanyaan
ini segera ditolak dengan seruan, “jangan pikirkan apa yang sudah negara
berikan kepadamu, pikirkan apa yang sudah kamu berikan untuk negara”. Seruan
semacam itu sebetulnya penulis anggap sebagai sesuatu yang kurang adil untuk
diterima, karena kata itu mencegah kita untuk berfikir kritis terhadap negara.
Negara
sebetulnya adalah sebuah kontainer, kalau bahasa sosiologisnya sistem
pengorganisasian sosial berbasis teritorial, meskipun ada sistem
pengorganisasian lain yang berbasis teritorial semisal gereja, liga kota dagang
di jerman dsb. Akan tetapi, Negara merupakan hal yang lain, negara memiliki
ciri kedaulatan. Sekedar informasi semenjak 1648,
pertama kali negara modern dicetuskan melalui perjanjian Westphalia, kedaulatan
ini mengalami evolusi. Di perjanjian Westphalia (1648), ia berarti sentralisasi
kekuasaan teritorial, eksklusi kekuasaan non-negara (gereja, bandit, ksatria,
liga, dst.), dan pengakuan kedaulatan antar negara. Di Kongres Wina (1814), ia mendapat dimensi teritorial
terbatasnya. Di Konvensi Jenewa (1864, 1906, 1929, 1949), ia diatur oleh Hukum Internasional.
Di Konvensi Montevideo (1933), ia dibakukan sebagai kanon hukum.
Yang
ingin penulis tekankan disini adalah, bahwa negara adalah produk sejarah. Jadi,
memberi predikat final terhadap negara adalah sesuatu yang cukup gila, karena
hanya tuhan yang harus kita sebut Final. Negara adalah entitas yang debatable
yang hanya mungkin bisa kita atur kemana keberlangsungan negara bakal
terjadi.
Untuk
sampai kepada maksud penulis. Penulis akan bawa pembaca yang budiman pada
ingatan penulis tentang Negara. Asal-usul negara tidak bisa dilepaskan dari asal-usul
kedaulatan. Kedaulatan adalah fitur utama sistem pengorganisasian ini. Membahas
mengenai kedaulatan bisa kita lacak saat Paus mencoba mentransfer kedaulatan
ilahi pada dirinya untuk menjustifikasi kekuasaannya atas Eropa pasca serangan
barbarian di sekitar abad 8-9. Kaisar Romawi Agung cemburu ia ingin mendapat
kekuasaan besar seperti itu. Jadilah perseteruan di antaramereka di sekitar
abad 10-13.
Dalam
nuansa kecemburuan tersebutu setidaknya doktrin dua pedang mampu sedikit
meredakan ketegangan tersebut. Paus memegang pedang relijius sebagai tanda kekuasaan
atas kehidupan agamawi rakyat; sementara Kaisar memegang pedang sekuler sebagai
tanda kekuasaan atas kehidupan duniawi rakyat. Sekitar abad 13 dan 14, baik
Gereja maupun Kekaisaran mengalami krisis. Akibatnya, kekuasaan yang tadinya
dikira kekal tersebut, ternyata terbukti keropos. Akhirnya mulailah raja-raja
dan pangeran-pangeran (yang secara hirarkis saat itu berada di bawah kekuasaan
Paus dan Kaisar) melirik ide kedaulatan, dan “bersekongkol” untuk menyingkirkan
Paus dan Kaisar secara sistematis. Jadilah perjanjian Westphalia yang
melaluinya kekuasaan paus dan Kaisar dipangkas habis.
Pembagian
wilayah misalnya, sudah jelas berupaya mencacah-cacah kekaisaran saat itu. Lalu
pengakuan kedaulatan eksklusif, jelas merupakan upaya untuk saling melegitimasi
diri seraya mendeligitimasi yang lain yang tidak sejenis—Kaisar dan Paus (dan
bandit, dan liga, dst.) Melalui perjanjian, Eropa hanya mengenal (secara de
yure) negara berdaulat sebagai satu-satunya pengorganisasian teritorial.
Pertanyaannya
sekarang, apa yang dilakukan raja saat merasa mendapatkan kekuasaan ini? Salah
seorang pemikir politik yang tentu kita semua tahu Niccolo Machiavelli akan menekankan
bahwa caranya yakni Mempertahankan dan Mengatur siapapun yang berada
pada wilayah kekuasaanya. Bagaimana teknisnya? Diciptakanlah ritual-ritual yang
di”SAKRAL”kan seperti pemahkotaan, pembaptisan raja, perayaan hari-hari
tertentu. Benda-benda yang disakralkan juga dibuat: tongkat, mahkota, tempat tidur,
peti mati, dst. Apa tujuannya? Tidak lain adalah menjaga kesinambungan trahnya
di tahta kerajaan. Jadi, melalui hal-hal sakral ini, kerajaan (atau nantinya
negara) diangkat statusnya ke taraf sakral, atau obyek yang sublim.
Dengan
kata lain, hal ini memiliki tujuan untuk menjamin kekuasaan duniawi raja
melalui faktor-faktor yang sifatnya sementara, Dan tentunya rakyat selalu ada
untuk mengelu-elukan rajanya, membersihkan kamar raja, menyandang senjata untuk berperang, atau paling banter menjadi badut istana tidak lebih.
Dari
sini kita bisa sedikit memahami bahwa. Proses memiliki kata kedaulatan dicapai
hingga dengan cara ritual-ritual kerajaan yang mengada-ada, hingga melahirkan
entitas baru yang kita sebut saja sebagai “Negara Berdaulat” para penganut
psikoanalisis lacanian akan cepat mudah memahami maksud penulis. Setelah anda
paham, bahkan lebih jauh lagi penulis bisa katakan bahwa “negara bukan hanya
merupakan monopoli muara proyeksi fantasi raja akan kekekalan eksistensi,
melainkan juga sama-sama merupakan muara proyeksi fantasi rakyat akan kontinuitas eksistensinya” kenapa begitu? Karena raja dalam
setiap kesempatan orasi publik atau kampanyenya selalu menjajikan kesejahteraan
dan kemakmuran serta keamaan bagi rakyat. secara psikologis tentu seorang yang
punya hasrat berkuasa harus merangkul hasrat rakyat tadi yang membutuhkan
kesejahteraan, kemakmuran dan keamanan. Akibatnya, rakyat rela memproyeksikan
hasratnya pada negara; atau dalam bahasa ilmu politik, rakyat memberi
legitimasi bagi pemerintahan rajanya. Dan ini pada gilirannya akan menimbulkan
masalah besar, sangat besar.
Akhirnya
pada revolusi Perancis, kita tahu bahwa fantasi raja dan fantasi rakyat
terbukti tidak bisa berbagi muara, salah satu harus menyingkir. Sejarah
membuktikan, pisau guillotine menjadi tanda dimana fantasi rajalah yang
harus mengalah. Laksana bendungan bocor, demokrasi menjadi aliran deras fantasi rakyat untuk mengisi tahta kerajaan sepeninggalan raja monark. ibarat sekawanan budak yang berhasil membunuh tuan tirannya, mereka kini berjingkrak-jingkrak di tempat tidur sakral,
mempermainkan tongkat sakral raja, dan mungkin memakaikan mahkota raja ke kambing piaraan mereka.
Tapi
apakah benar guillotine sukses memenggal kepala raja? Kembali ke penekanan saya sebelumnya, tubuh raja bisa saja mati, tapi obyek sublim tidak!
Inlah teologi/metafisika politik. Hantu kedaulatan membayangi demokrasi belia Eropa (Perancis) saat itu.
Dari
sedikit sejarah diatas, tentu kita akan berfikir ulang, tentang kondisi negara
ini, benarkah rakyat hanya sekedar objek demi melanggengkan kekuasaan, apakah
rakyat berdaulat? Apakah penting mengkultuskan seorang presiden? Apakah rakyat
harus percaya janji-janji politik para politikus? Ketika kita bisa sedikit
berfantasi bahwa kemungkinan kita memang benar adalah variabel kesekian demi
ambisi politik seorang raja/presiden dsb? Kalau iya hina sekali kita, anda
refleksikan sendiri!.
Mungkin
tulisan ini agak sinis, tetapi, bukan tidak mungkin pikiran semacam ini bisa
saja sungguh sedang terjadi di negara ini, penulis mengajak pembaca untuk tidak
terbutakan oleh janji politik, dan pengkultusan terhadap kandidat tertentu pada
pemilu 2019, agar kita bisa lebih kritis
dan jeli serta mengurangi dampak konflik sosiologis dari pertengkaran politik.
sebagai pengakhir penulis ingin mengutip tulisan dari salah satu karya George
Orwell di novelnya 1984 “those who
control the past control the future and those who control the present control the past.”
Terimakasih.
Komentar
Posting Komentar