Langsung ke konten utama

DEMOKRASI DALAM ANCAMAN HEGEMONI NON ETIS




Bangsa ini sudah hampir masuk usia 18 tahun pasca reformasi. Setelah sekian puluh tahun kehidupan bernegara berada dalam cengkraman Totalitarianisme yang membungkam setiap bentuk kritik rakyat kepada rezim Orde Baru. Akhirnya Rakyat berhasil menjatuhkan Soeharto dari tahta kekuasaannya dan menginginkan reformasi. Disitulah kita mengenal kata transisi yang mana diartikan sebagai suatu upaya perubahan terhadap sistem politik yang sewenang-wenang kepada sistem politik yang lebih demokratis.
            Dewasa ini, Demokrasi kita seolah-olah masih belum mampu menjadikan bangsa ini lebih baik. justru pada era pasca 1998, Semakin banyak kasus-kasus korupsi, konflik, ketidakadilan hukum, dan pudarnya identitas bangsa telah muncul dipermukaan. Hal-hal seperti ini sebenarnya adalah gejala yang menjelaskan bahwa Sistem Politik kita masih lemah. Seperti apa yang di idealkan oleh Gabriel almond bahwa seharusnya sebuah negara memiliki 6 kapabilitas sistem politik, dimana salah satunya adalah kapabilitas Regulatif. Kapabilitas regulatif artinya kemampuan sistem politik untuk mengendalikan perilaku warga negara melalui Regulasi (Ubedilah,badrun 2016,Sistem Politik indonesia kritik dan solusi sistem politik efektif). Hal ini seharusnya juga harus dipertimbangkan dalam membangun sebuah peradabaan bangsa (civilization).
            Jika melihat kapabilitas sistem politik kita dari perspektif diatas, maka realitas mangatakan bahwa konflik sepanjang 10 tahun terakhir secara kualitatif dan kuantitatif mengalami peningkatan. Misalnya, jumlah angka konflik sosial setiap tahun rata-rata yang meningkat antara 5-10 kasus dengan jumlah total kasus konflik sosial pertahun rata-rata mencapai 70 sampai 80an kasus (Kemendagri,2013) justru sekarang diperparah dengan hadirnya isu Ahok yang diduga menistakan Agama Islam yang sangat mencederai Umat Islam di indonesia, yang mana selain hukum kasus ini berujung pada sentimen agama dan etnis antara islam dan kristen, Indonesia dan tiongkok. Isu ini sangat berpotensi menciptakan konflik tidak hanya antara agama yang berbeda tetapi juga sesama agama. Ini membuktikan bahwa memang sangat lemah sistem politik kita yang di idamkan setelah jatuhnya rezim orde baru.
            Dari aspek ini, kita bisa melihat bahwa sebenarnya kita belum sepenuhnya menuju apa yang diteriakan pada 1998 yaitu menuju reformasi, banyak orang beranggapan bahwa setelah jatuhnya orde baru kita sudah masuk didalam reformasi. Karena itulah, kita ingin namanya “transisi demokrasi” .transisi itu artinya ada dua langkah yang harus ditempuh yaitu keluar dari Otoritarianisme dan masuk ke Reformasi. Bangsa kita masih dalam langkah keluar dari Otoritarianisme , Artinya belum masuk ke reformasi dan sekarang kita berada ditengah-tengah pintu orde baru dan reformasi. Sialnya, oligarki orde baru masih menjabat di pemerintahan saat ini, dan itu justru mencederai usaha rakyat pada saat itu untuk mengeluarkan semua pejabat orde baru dan diganti dengan orang yang dianggap rakyat , bersih. Oleh karena itu, Kita belum menuju pada reformasi yang di inginkan rakyat.
            Disis lain, ada kegagapan presiden dalam aspek politik yang mencederai etika. Hal itu terbukti dalam hasil resuffle kabinet, nama Wiranto masuk dalam jajaran Kabinet Pemerintah jokowi. Masuknya Wiranto dalam kabinet adalah bentuk ketidakmampuan Presiden dalam memahami etika bernegara, sebab “ingatan” itu melekat dalam benak rakyat. Bagaimana bisa, Mereka yang masuk dalam jajaran kabinet dengan membawa kertas berstempel HAM betah dengan seorang pelanggar HAM. Inilah, bentuk kongkrit bahwa culture pemerintah adalah culture yang permisif terhadap HAM. Budaya seperti ini, menunjukkan bahwa ada problem didalam pemerintahan ini.
            Begitupula masyarakat sipil, ada sikap yang tidak sopan oleh civil society disaat mereka sudah mulai enggan mengkritik negara. Padahal dengan akal sehat negara ini butuh kritik, karena denyut nadi dari demokrasi adalah kritisisme. Pada saat kritik akal sehat ini tidak dirawat dengan baik oleh negara, disitulah indikasi negara menyembunyikan kebohongan. Dengan kata lain, Pemerintah sengaja membiarkan bom waktu terus bergulir hingga meledak dan menghancurkan moral politik bangsa.
            Konsekuensi logis dari hal ini adalah kembali munculnya rezim baru yang membawa dalil agama. Muncul upaya-upaya baru dari kumpulan massa yang membawa dalil agama untuk mengubah sistem politik menjadi sistem kekhalifahan. Ini menjadi problem baru, karena masuk ke Reformasi yang dicita-citakan rakyat saja belum tercapai malah ingin mendirikan negara kekhalifahan. Pemerintah akhirnya didesak untuk ribut mengurusi masalah ideologi negara. Dulu rakyat marah terhadap neoliberalisme karena menyebabkan ketimpangan sosial yang tinggi, padahal lawan tanding dari neoliberalisme, kapitalisme adalah Komunisme. Tetapi, masyarakat juga tidak ingin mengadopsi komunisme, hanya dinegara ini ada keunikan yaitu dua ideologi yang saling bermusuhan negara musuhi sekaligus. Inilah konsekuensi jika negara tidak merawat akal sehat kehidupan bernegara.
            Sekarang dapat dilihat bahwa upaya-upaya pemerintah, mencerminkan sikap yang permisif terhadap golongan agamis yang ekstrimis. Padahal secara historis mereka melanggar sumpah pemuda dan kebhinekaan. Didalam sumpah pemuda dikatakan bahwa “pemuda bertanah air satu, berbangsa satu, berbahasa satu, tidak ada sumpah pemuda ke 4 yang mengatakan bahwa pemuda beragama satu. Sungguh, sebuah kegagalan dalam memahami sejarah sehingga terlintas untuk menjadikan negara ini sebagai negara Islam/Kekhalifahan. negara sadar akan hal ini, tetapi sialnya negara ikut menunggangi hal ini karena disitu tempat bertebarannya statistik pemilu. Negara bersikap permisif karena disitu ada kepentingan akumulasi kekuasaan. Sihingga, Inilah yang terjadi jika negara dihegemoni oleh kekuatan yang sifatnya non negara.
            Dalam aspek lain, beberapa kali kita melihat di media, bahwa setiap malam minggu ada sekumpulan pemuda bringas yang berkeliling kota menebar moral. Menghakimi seseorang yang mereka anggap salah tanpa memproses secara hukum, Padahal negara ini adalah negara hukum. Begitupula media, dimana seringkali mengabarkan berita berisi kebencian terhadap agama tertentu, etnis tertentu. Seolah ada ruang lain dibalik ruang publik yang mengarahkan akal pikiran manusia untuk terus berputar pada urusan agama ataupun golongan. Padahal Republik ini dibangun untuk merawat akal sehat pikiran masyarakat. Oleh karena itu, Konstitusi kita mengatakan “Tujuan bernegara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa”. Akan tetapi, akal pikiran itu hendak digagalkan oleh negara karena kepentingan akumulasi kekuasaan, dan bisa terlihat bahwa pemerintah lebih ingin berdamai dengan hal itu.
            Jika seperti ini terus, negara kita akan tertinggal dari negara lain. Kita sudah masuk didalam masyarakat ekonomi asean. Presiden menganggap bahwa biarkan masyarakat berkompetisi jangan terlalu dimanjakan, padahal jelas konstitusi kita mengatakan bahwa “Negara melindungi segenap bangsa dan tumpah darah indonesia”. Tidak bisa kita membiarkan masyarakat kita bersaing dengan Malaysia, bersaing dengan singapura maka akan habis negara ini, tetap proteksi pemerintah harus senantiasa hadir sebagai bentuk perlindungan Negara terhadap rakyatnya. Yang perlu ditekankan adalah kenyataan bahwa negara ini terlalu disibukan dengan permasalah-permasalahan yang menyebabkan gaduh tidak hanya dimasyarakat tetapi juga gaduh dipemerintahan. Hentikan semua pemahaman mistis bahwa jika presiden ini yang jadi maka otomatis negara “Gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kartoraharjo” Seperti mistik. Padahal negara ini perlu dikelola secara raisional dan kecerdasan tinggi agar supaya negara ini menjadi negara yang beradab tidak gaduh yang tidak jelas seperti saat ini.
            Perlu di ingat bahwa, pada saat negara sedang panas dengan permasahalan penistaan, golongan, hukum dsb yang membuat gaduh dan menghabiskan energi. Masyarakat lupa bahwa kurang dari 75 % kekayaan indonesia dikuasai oleh 0,2% orang indonesia melalui konglomerasi PT, Pertambangan, Real Estate, Kelapa sawit dsb, faktanya yang 0,2 % itu adalah Orang non pribumi, Ini tinggal soal BOM waktu. Hanya pemerintahan cerdas yang mampu menyelesaikan permasalahan ini dan presiden yang punya kewibawaan yang besar untuk berbicara langsung dengan para pemimpin-pemimpin di negeri ini. Kalau tidak orang luar negeri tidak akan mengetahui siapa menteri, siapa gubernur, yang tau presidennya goblok. Karena itu, perlu reaksi cepat pemerintah untuk menormalisasikan keadaan negara. Ada istilah yang cocok menggambarkan keadaan ini, Pepatah itali mengatakan bahwa “ Akal sehat yang tertidur membangunkan monster” karena itu negara ini perlu dikelola dengan Rasional dan kecerdasan yang tinggi, agar malam tidak dikuasai para monster, agar nyenyak tidur kita sepanjang malam, dan pada saat terbangun dipagi hari kita tahu bahwa ada harapan untuk Indonesia.  Terimakasih
           
           
           
           
           
           
           
           
           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FENOMENA CALON INDEPENDEN TERHADAP ISU DEPARPOLISASI PADA PILKADA DKI JAKARTA 2017

Deparpolisasi menurut KBBI adalah pengurangan jumlah partai politik [1] , secara umum deparpolisasi dapat diartikan sebagai berkurangnya peran-peran partai politik bahkan peniadaan partai politik. Dalam dunia perpolitikan, negara tentu mengharapkan pemilu yang demokratis karenanya partisipasi politik warganegara adalah sebuah kebutuhan. Demokrasi tanpa keikutsertaan rakyat adalah sesuatu yang nihil. Keterlibatan serta partisipasi rakyat diharapkan dapat menentukan arah kebijakan pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan negara, terutama menyangkut kepentingan rakyat umum (banyak). Menyangkut pernyataan diatas, bahwa pemilu dapat diartikan sebagai hal yang sangat sakral karena disanalah nasib dari jutaan masyarakat disuatu wilayah ditentukan oleh siapa pemimpinnya. Dalam kontestasi politik tentu partai politik sengat gencar dalam mengkampanyekan kader terbaiknnya agar dapat dipilih oleh rakyat. Tetapi, seiring berjalannya waktu banyak kader dari partai politik yang gag

BINATANG BERTUBUH MANUSIA

Assalamualaikum Wr.Wb Dalam tulisan ini penulis akan membahas fenomena-fenomena politik didalam sebuah kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Kita tentu mengenal masa transisi jabatan dalam sebuah pemerintahan, Pergantian kekuasaan dari periode yang awal ke periode yang selanjutnya. Dalam hal ini, proses penetapan calon-calon yang akan duduk sebagai jajaran pemerintahan baru sudah sangat jelas dilakukan oleh Kelompok, baik partai dsb. Yang perlu diperhatikan, proses penetapan calon tersebut bukanlah dengan cara sembarangan, perlu proses seleksi yang sangat rumit agar muncul calon-calon yang benar-benar berkompeten dan mempunyai track record yang jelas. Karena kalau tidak, pemerintahan itu nantinya akan berjalan seperti halnya sesorang yang amatiran. Itulah hal ideal dalam sebuah proses penetapan jajaran pemerintahan.             Tetapi disisi lain, Realitas yang terjadi mengatakan sebaliknya meskipun tidak general. Banyak didaerah-daerah tertentu pemerintahan dipegang oleh seor

Era Post Truth dan masa depan politik indonesia

Oleh Anak Agung MIP Menelisik beberapa kejadian yang sering muncul akhir-akhir ini, entah kebiasaan netizen di media sosial (semisal twitter, Facebook,IG) tentang ujaran-ujaran yang tidak koheren dengan realitas yang ada, menyebabkan stigma berkembang lebih cepat dan tidak terkontrol. Sampai mengkontruksi masyarakat untuk berfikir secara dangkal dan tidak kritis. Akibatnya, segala diskursus publik kepada masyarakat, diarahkan menuju hal-hal yang tidak substansial. Publik dibiasakan melihat masalah sebatas apa yang ditangkap oleh indrawi, tidak diajarkan untuk menggunakan mata akal. Sehingga, segala problematika yang tersodorkan di media tidak pernah disikapi secara kritis oleh masyarakat kita. Jarang sekali penalaran publik sampai ke dasar permasalahan, karena ketidakmampuan akal untuk melihat sisi yang hanya bisa dideteksi oleh mata akal; bukan indra mata. Lalu kita bertanya, kenapa bisa begitu? Jika kita cek secara teoritis, kemunduran akal tersebut biasanya dikataka