Langsung ke konten utama

Era Post Truth dan masa depan politik indonesia



Oleh Anak Agung MIP
Menelisik beberapa kejadian yang sering muncul akhir-akhir ini, entah kebiasaan netizen di media sosial (semisal twitter, Facebook,IG) tentang ujaran-ujaran yang tidak koheren dengan realitas yang ada, menyebabkan stigma berkembang lebih cepat dan tidak terkontrol. Sampai mengkontruksi masyarakat untuk berfikir secara dangkal dan tidak kritis. Akibatnya, segala diskursus publik kepada masyarakat, diarahkan menuju hal-hal yang tidak substansial.

Publik dibiasakan melihat masalah sebatas apa yang ditangkap oleh indrawi, tidak diajarkan untuk menggunakan mata akal. Sehingga, segala problematika yang tersodorkan di media tidak pernah disikapi secara kritis oleh masyarakat kita. Jarang sekali penalaran publik sampai ke dasar permasalahan, karena ketidakmampuan akal untuk melihat sisi yang hanya bisa dideteksi oleh mata akal; bukan indra mata.

Lalu kita bertanya, kenapa bisa begitu? Jika kita cek secara teoritis, kemunduran akal tersebut biasanya dikatakan sebagai Cognitive Bias (ada banyak turunan yang bisa anda baca sendiri pada buku cetak maupun elektronik), yang mana artinya adalah keadaan dimana pikiran/akal terhegemoni oleh Keinginan. Keadaan semacam itu menumbuhkan sikap arogansi publik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di situlah point penting sebuah negara yang harus dievaluasi.

 Adapun beberapa hal yang menyebabkan orang mengalami kondisi semacam itu adalah: culturalisme, Believe, teologis, dll. Sehingga segala aspek tersebut menjadi sebuah keniscayaan. Akan tetapi, kalau kita uji secara filosofis seluruh pemahaman itu sebetulnya bersifat dogmatis, dan dogmatisme selalu menutup nalar. Karena setiap argumen ataupun konsep yang disodorkan selalu bersifat final. Segala hal yang bersifat final artinya mematikan pikiran.

Jika kita ingin tarik ke problem dasar, maka kondisi semacam ini sebetulnya telah berkembang secara liar pasca masuknya orde baru, bahkan mungkin semenjak orde lama. Sangat jelas di dalam memori kita bahwa orde baru selalu menjadi sejarah tersendiri bagi perkembangan indonesia. Karena, segala aspek kebebasan ditutupi oleh kekuatan politik dan itu berlangsung selama 32 tahun. Dalam rentang waktu, itu pengelolaan negara yang sangat militeristik dapat dimetaforkan dengan istilah “Belenggu Pikiran”, karena segala bentuk pikiran berwarganegara diatur oleh todongan senjata. Hal tersebut kita katakan sebagai sistem pemerintahan Totalitarianisme. Dari aspek itu, kita bisa sedikit untuk tidak berlebihan dengan menuduh bahwa orde baru tetap menjadi indikator penentu politik indonesia era saat ini. Karena seluruh jajaran pikiran pada saat ini adalah berisi orang-orang orde baru. Kalau kita lihat para elit politik yang ada saat ini, mereka adalah orang-orang yang tumbuh dimasa orde baru. Sangatlah mungkin “tabiat” orde baru menjadi berimplikasi pada masa sekarang. Karena hampir jajaran elit politik dibentuk oleh masa orde baru.

Akibatnya apa, Kita bisa melihat akhir-akhir ini publik dibuat ngamuk oleh pernyataan atau kejadian-kejadian yang memiliki tendensi kearah yang tidak jelas. Publik dibuat menjadi terpecah-pecah atas dasar kekacauan yang terjadi dikalangan elit politik. akhirnya, keakraban warga negara menjadi pertaruhan. Padahal dalam sebuah negara multikultur seperti indonesia. Keakraban menjadi penting mengingat garis konflik atas perbedaan sangat tipis.

Fenomena semacam ini yang akhirnya membuat penulis merasa bingung, mengapa hal tersebut tetap dipelihara oleh negara yang notabenya didirikan dengan kecerdasan. Penulis menganggap bahwa kondisi semacam ini sengaja dipelihara oleh elit untuk kepentingan kekuasaan dengan tidak memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat atau memang dari kalangan elit tidak punya kesadaran akan hal semacam ini. Sehingga, dia tidak mampu membaca akibat jangka panjang dari hal semacam ini.

Kita seringkali kehilangan momentum untuk mengubah aura lelucon dalam politik nasional menjadi aura yang serius dan substantif karena publik terbiasa dengan kebodohan. Gempuran konten di media sosial yang simpang siur dan tabiat politisi dalam negeri yang disodorkan ke publik menyebabkan publik kalau penulis agak sinis membaca psikis dari masyarakat adalah “ bodoh amat dengan politik, lebih baik ngikut tren kekinian seperti Tiktok, bertingkah bodo sambil ngevlog”. Psikis semacam inilah yang mungkin menghegemoni publik saat ini terutama kalangan muda yang menjadi generasi penerus.

Akibatnya, efek jangka panjang dari fenomena ini adalah kita akan defisit orang yang concern di bidang sebut saja “Serius” dan yang selalu khawatir dengan arah kemajuan bangsa. Bisa kita bayangkan kalau seandainya benar-benar defisit, akan menjadi seperti apa kedepan bangsa ini? Penulis khawatir kondisi ini akan menciptakan kebiasaan buruk dan berefek domino terhadap buruknya kualitas sumber daya manusia dan kondisi kualitas sumberdaya manusia berdampak terhadap baik/buruknya arah sebuah bangsa. Itulah yang harusnya menjadi kekhawatiran kita akhir-akhir ini.

SIAPA AKTOR  ERA POST TRUTH

            Lalu sekarang kita bertanya, bagaimana nuansa ini bisa terjadi? Sebetulnya era Post Truth terjadi tidak terlepas dari pengorganisiran secara masif dan terstruktur di media massa. Tentu kita harus cukup komplek di dalam memahami hal semacam ini. Agar lebih mudah memahmi, kita bisa melihat peristiwa yang tak terduga di tahun 2016 yaitu perihal aksi massa sekitar ratusan ribu orang di Jakarta untuk menuntut calon gubernur DKI petahana Basuki Tjahatja Purnama alias Ahok, karena tuduhan penistaan agama. Tuduhan yang dipicu perdebatan apa yang dianggap benar atau salah dari ucapan si petahana (serta modifikasinya oleh seorang pengguna media sosial yang tak bersimpati padanya) di media sosial. Peristiwa ini tidak terduga bukan cuma karena besarnya jumlah massa yang termobilisasi ke jalan untuk isu yang dimulai dari kericuhan media sosial akan tetapi juga bagaimana persebaran Post Truth menggunakan media sosial sukses mengerek popularitas kelompok dan tokoh politik sektarian reaksioner di mata banyak kalangan menengah perkotaan. Popularitas yang menghidupkan pertengkaran hebat lintas kalangan dan antar kerabat yang mungkin hanya bisa ditandingi oleh aura ketegangan pada pilpres 3 tahun lalu.

            Dari Fenomena ini, kita semua bisa mendeteksi ada yang janggal, yaitu Keterkecohan publik terhadap fenomena Ahok. Keterkecohan publik dalam mengambil pilihan yang dilandasi oleh informasi-informasi yang menyesatkan, dan penggiringan sentimen publik berdasarkan keyakinan emosional ketimbang faktual.

            Akan tetapi, Problemya adalah tidak sesederhana bagaimana jutaan orang tiba-tiba terkecoh oleh berita palsu di media sosial. Pertanyaannya sekarang adalah mengapa dan bagaimana orang banyak lebih tergiring pada pilihan kebenaran yang berbasis keyakinan emosional ketimbang fakta?. Dari Contoh Ahok saja kita mampu melihat bahwa yang terjadi bukan problem masyarakat pengguna media sosial, karena sudah menjadi keniscayaan di era teknologi saat ini dimana konsumsi publik bisa terfasilitasi oleh Gadget mereka. Tetapi, Kenyataannya teknologi yang digunakan untuk membantu mengorganisir jejaring media sosial dan mesin pencari justru mengarahkan kita pada situasi yang dipenuhi kebenaran tanpa landasan fakta. Reaksi yang berkembang adalah pemilik plaftform media sosial paling populer saat ini didesak untuk membuat pengaturan untuk menyeleksi berita yang dianggap palsu (fake news). Kita melihat pihak korporasi dan kapitalis media kini sibuk menyangkal turut bertanggung jawab atas fenomena politik “Post Truth”. Akan tetapi penjelasan mereka tak memuaskan nalar karena besarnya profit ekonomi yang mereka nikmati dari persebaran sensasi informasi atau pun penggunakan jaringan dan perangkat teknologi yang mereka perdagangkan untuk penyebaran “kebenaran tanpa berlandaskan fakta” itu. Artinya kita harus sadar ada basis material yang diuntungkan oleh perkembangan fenomena Post Truth ini.

            Sialnya, bila kita perhatikan secara seksama, minimnya upaya masyarakat untuk merujuk fakta adalah praktik sosial yang punya kaitan struktural dengan ketidakpercayaan pada media sebelum era media sosial saat ini, yang juga telah dikuasai oleh kapitalis dan oligarki yang tak kurangnya mempermainkan fakta. Kurangnya acuan pada fakta dalam mengambil pilihan politik juga adalah penanda praktik sosial masyarakat yang nyaris sepenuhnya juga asing dari Pemahaman tentang visi masyarakat yang progresif dan ilmiah karena terus dilarang dan dipinggirkan. Praktik sosial di tingkat massa yang asing dari teori mengarahkan mereka pada rujukan memahami realitas pada jenis-jenis kebenaran yang tidak membutuhkan fakta dan pembuktian ilmiah. Lihat saja bagaimana khalayak luas dengan berbagai motivasinya terus meyakini bahwa peristiwa-peristiwa sosial politik yang mereka hadapi terjadi secara mistis atau aneka ragam penjelasan “cocoklogi” yang terus berevolusi bahkan di era teknologi informasi ini.

            Perlu kita sadari bersama bahwa, jika kita melihat Kondisi Sosio-Politik Nasional seperti yang dijelaskan sebelumnya, Maka ini pertanda bahwa Kita sedang dalam keadaan bahaya serta merupakan fakta yang harus disikapi. Terbukti sudah bahwa perkembangan teknologi informasi tidak mengarah pada perumusan dan pengupayaan visi mengenai masyarakat yang lebih adil dan sejahtera melampaui krisis yang terus merongrong sistem kapitalis saat ini, melainkan bergerak ke berbagai aspirasi yang reaksioner. Pengamatan yang penting juga adalah berkeliarannya mobilisasi massa di lapangan nyata dan media sosial. Karenanya harus ditegaskan bahwa sinisme dan pemisahan pengorganisiran di dunia nyata dan virtual semakin tidak relevan dan kita membutuhkan teori dan juga program revolusioner untuk mengatasinya.
            Fenomena ini mampu menjadi momentum penting untuk warga negara agar lebih sadar dan cerdas mengkonsumsi segala informasi di media. Selamatkan ruang publik kita dari aktor yang mengambil kebermanfaatan dari kebodohan ini. Kita juga perlu memikirkan solusi kongkrit tentang fenomena ini, kita juga harus menyadari peningkatan moral saja memang tidak cukup, terutama ditengah krisis sosial yang sedang kita hadapi adalah keterhubungan antara meluasnya kepercayaan/ketidakpercayaan di dunia nyata dengan penyebaran kepercayaan/ketidakpercayaan di dunia virtual. Harus ada upaya-upaya Politik yang dilakukan secara terorganisir dan kuat untuk membalik keadaan ini.
Terimakasih

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FENOMENA CALON INDEPENDEN TERHADAP ISU DEPARPOLISASI PADA PILKADA DKI JAKARTA 2017

Deparpolisasi menurut KBBI adalah pengurangan jumlah partai politik [1] , secara umum deparpolisasi dapat diartikan sebagai berkurangnya peran-peran partai politik bahkan peniadaan partai politik. Dalam dunia perpolitikan, negara tentu mengharapkan pemilu yang demokratis karenanya partisipasi politik warganegara adalah sebuah kebutuhan. Demokrasi tanpa keikutsertaan rakyat adalah sesuatu yang nihil. Keterlibatan serta partisipasi rakyat diharapkan dapat menentukan arah kebijakan pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan negara, terutama menyangkut kepentingan rakyat umum (banyak). Menyangkut pernyataan diatas, bahwa pemilu dapat diartikan sebagai hal yang sangat sakral karena disanalah nasib dari jutaan masyarakat disuatu wilayah ditentukan oleh siapa pemimpinnya. Dalam kontestasi politik tentu partai politik sengat gencar dalam mengkampanyekan kader terbaiknnya agar dapat dipilih oleh rakyat. Tetapi, seiring berjalannya waktu banyak kader dari partai politik yang gag

BINATANG BERTUBUH MANUSIA

Assalamualaikum Wr.Wb Dalam tulisan ini penulis akan membahas fenomena-fenomena politik didalam sebuah kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Kita tentu mengenal masa transisi jabatan dalam sebuah pemerintahan, Pergantian kekuasaan dari periode yang awal ke periode yang selanjutnya. Dalam hal ini, proses penetapan calon-calon yang akan duduk sebagai jajaran pemerintahan baru sudah sangat jelas dilakukan oleh Kelompok, baik partai dsb. Yang perlu diperhatikan, proses penetapan calon tersebut bukanlah dengan cara sembarangan, perlu proses seleksi yang sangat rumit agar muncul calon-calon yang benar-benar berkompeten dan mempunyai track record yang jelas. Karena kalau tidak, pemerintahan itu nantinya akan berjalan seperti halnya sesorang yang amatiran. Itulah hal ideal dalam sebuah proses penetapan jajaran pemerintahan.             Tetapi disisi lain, Realitas yang terjadi mengatakan sebaliknya meskipun tidak general. Banyak didaerah-daerah tertentu pemerintahan dipegang oleh seor